Komunitas adat merupakan
sebuah realitas sosial yang terkait dengan proses asal-usul dan munculnya suatu
komunitas bangsa. Komunitas ini berasal dari sejumlah individu yang berdiam di
suatu tempat tertentu dengan sistem nilai (value system) tertentu pula yang
mengatur pola-pola interaksi antar individu anggota komunitas, sedang interaksi
dengan individu diluar komunitas cenderung tidak diatur dalam sistem nilai yang
dianut.'
Eksistensi komunitas adat, termasuk komunitas adat terpencil selama ini
cenderung dianggap sebagai bagian pelengkap dari masyarakat pada umumnya.
Fungsinya lebih cenderung dijadikan sebagai kawasan khusus yang diperuntukkan
bagi keperluan wisata dan untuk penelitian-penelitian sosioantropologis.
Keunikan dan keeksotisan adat istiadatnya hanya dieksploitasi untuk semata
tujuan-tujuan ekonomis seraya melupakan pemenuhan hak-haknya sebagai komunitas
yang harus dilindungi dari pengaruh budaya dari luar (mainstream culture).
Sebagai sebuah komunitas, orang-orang yang menjadi anggota komunitas tersebut
secara individu memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya.
Hak untuk hidup, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk hidup sejahtera hal
untuk bebas dari rasa takut dan hak untuk mengembangkan budayanya adalah
beberapa hak-hak yang bersifat azasi yang mutlak diberikan kepadanya.
Keberadaannya yang terisolasi dengan masyarakat pada umumnya bukanlah halangan
untuk adanya persamaan hak dan kewajiban.
Eksistensi Komunitas Adat
Komunitas adat terpencil telah melahirkan banyak istilah untuk menyebut obyek
yang sama. Departemen Sosial, sebuah lembaga pemerintah yang mengurus sektor
ini memberinya istilah masyarakat terasing. Defenisi masyarakat terasing
menurut Departemen Sosial adalah masyarakat yang terisolasi dan memiliki
kemampuan terbatas , beberapa hak-hak yang bersifat azasi yang mutlak diberikan
kepadanya. Keberadaannya yang terisolasi dengan masyarakat pada umumnya
bukanlah halangan untuk adanya persamaan hak dan kewajiban.
Eksistensi
Komunitas Adat
Komunitas adat terpencil telah melahirkan banyak istilah untuk menyebut obyek
yang sama. Departemen Sosial, sebuah lembaga pemerintah yang mengurus sektor
ini memberinya istilah masyarakat terasing. Defenisi masyarakat terasing
menurut Departemen Sosial adalah masyarakat yang terisolasi dan memiliki
kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan masyarakat lain yang lebih maju,
karena keadaannya terbelakang serta tertinggal dalam mengembangkan kehidupan
ekonomi, sosial budaya dan lain-lain.
Ciri utama komunitas adat terpencil adalah sedentary dan local minded.
Mobilitas dan migrasi tidak dikenal dalam kamus kehidupan komunitas. Kalaupun
terjadi migrasi, pola migrasinya sebatas pada areal tertentu yang mirip dengan
tempat tinggalnya dan sebatas orientasi ekonomi subsisten untuk mendapatkan
sumber bahan makanan yang didapatkannya dengan jalan berburu dan bercocok
tanam. Orientasinya berfokus sebatas pada komunitasnya, lingkungan tempat
tinggalnya dan adat istiadatnya.
Dalam konteks kependudukan, eksistensi komunitas adat secara kuantitatif memang
tidak memiliki junilah yang signifikan, karena itu mereka mengelompok pada
wilayah tertentu yang menjadi menjadi areal pelaksanaan dan pengembangan
budayanya. Hasil dari perilaku dan interaksi budaya melahirkan subkultur dari
masyarakat pada umumnya; dan dilihat dari segi kebiasaan umum itulah
kebiasaan-kebiasaan komunitas adat dapat menjadi basis dari pengembangan
budayanya.
Komunitas adat yang banyak dikaji dan dijumpai hampir merata pada kelima pulau
besar di Indonesia. Beberapa komunitas adat yang sempat disebut disini antara
lain : suku Badui di pulau Jawa, suku Anak Dalam di pulau Sumatera, di pulau
Kalimantan ada suku Dayak, suku Asmat di pulau Irian dan di Sulawesi ada komunitas
Kajang.
Bila dijabarkan lebih jauh, komunitas adat terpencil dipulau Sumatera
diantaranya suku Sakai di Riau, komunitas Mentawai dan Enggano di Sumatera
Barat. Di Pulau Sulawesi ada To Pembuni dan To Seko di Sulawesi Selatan, Tojio
di Selawesi Tengah, To Landale di Sulawesi Tenggara dan Manobo di Pulau Buton.
Sedang di pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat ada komunitas Donggo di Sumbawa
Timur. Terakhir adalah di Pulau Irian Jaya (Papua) seperti komunitas Arfak,
Arso, Bahaan, Bauzi, Mek, Dani, Amungme dan Asmat.
Di Pulau Irian Jaya relatif propinsi yang memiliki paling banyak komunitas adat
terpencil dan belum tersentuh oleh peradaban luar yang modern. Komunitas
tersebut banyak berdiam di sekitar daerah sungai Wriendshap dan Eilanden yang
masih tertutup hutan lebat dan didaerah lereng gunung bagian selatan Pegunungan
Jayawijaya.
Setiap komunitas masing-masing beranggotakan sekitar 50-100 orang
dan menyebar diberbagai perkampungan. Keterpencilan komunitas adat dari dunia
luar disebabkan oleh faktor geografi dan topografi yang khas.
Pada abad 15
orang-orang Islam dari Kerajaan Ternate, Tidore dan Jailolo di Pulau Halmahera
sudah mempengaruhi kehidupan penduduk komunitas adat di bagian kepala burung
Pulau Irian, tetapi pengaruhnya tidak terlalu mendalam dan tidak meluas
sehingga tidak memiliki dampak yang berarti.
Demikian halnya pada abad 17 dan
abad 18 saat kedatangan bangsa Portugis dan Belanda yang menyebarkan agama
Kristen Protestan dan Katolik juga tidak mengalami perubahan dan kemajuan.
Bahkan pengaruh kedua agama terakhir yang banyak dianut penduduk Irian hingga
kini tidak banyak membantu proses modernisasi kehidupan komunitas terpencil.
Keberadaan komunitas-komunitas tersebut seharusnya senantiasa dilestankan namun
seringkali dalam penanganannya menimbulkan riak-riak yang menjurus ke aroma
politis, khususnya yang berhubungan dengan isu penataan lingkungan dan
pembangunan.
Isu ekologi merupakan isu yang banyak melekat pada komunitas adat, khususnya
adat terpencil. Keterkaitan isu ekologi banyak dijumpai pada komunitas adat di
pulau Sumatera dan Kalimantan. Istilah hak ulayat adalah istilah yang populer
dijumpai dalam wacana perjumpaan komunitas adat dengan isu ekologi.
Secara
populer, hak ulayat ini mengacu pada hak bawaan pada komunitas yang mendiami kawasan
tertentu secara turun temurun. Karena berbentuk hak, maka bila diabaikan akan
melahirkan tuntutan-tuntutan baru dan anggota komunitas adat. Gerakan
penuntutan hak pasti akan melahirkan gerakan beraroma politik karena berkaitan
dengan proses dan idiologi pembangunan yang dikembangkan rezim.
Eratnya keterkaitan isu ekologi dengan komunitas adat menyebabkan energi
pembangunan budaya komunitas adat menjadi terabaikan. Dengan disokong oleh
idiologi kapitalisme, rezim yang berkuasa mengeksplorasi berbagai kawasan hutan
untuk menjadi sumber anggaran negara melalui perantaraan perusahaan swasta.
Dengan berbekal hak pengusahaan hutan (HPH), swasta merasa memiliki hak yang
sangat luas untuk mengeksploitir sumber-sumber alam kehutanan. Tanpa banyak
menghiraukan suara-suara dari kelompok kritis yang banyak dilakoni para aktifis
lingkungan, swasta dengan proteksi yang besar dari rezim telah berhasil
menggunduli hutan-hutan lebat di selurah pulau di Indonesia yang diberi
predikat Hutan Produksi, sambil melupakan aspek efek budaya yang ditimbulkannya
pada eksistensi masyarakat adat.
Berubahnya kawasan hutan menjadi gundul mendatangkan perubahan pada budaya
komunitas adat terpencil. Karena pada dasarnya, pola-pola budaya yang
berkembang pada komunitas adat tersebut terkait dengan pola-pola interaksi yang
berhubungan dengan alam, termasuk upaya kelestarian alam yang didiaminya.
Perubahan struktur hutan yang menjadi lingkungan tempat mengembangkan budaya,
dengan sendirinya mengubah pula tata dan produk budayanya. Perubahan budaya
dapat melahirkan kegelisahan dan keresahan pada segenap anggota komunitas adat
Pembangunan Sosial-Budaya.
Dalam menangani komunitas adat terpencil diperlukan pola kebijakan dan program
yang adaptif sesuai dengan kondisi sosial budayanya. Selama ini komunitas adat
terpencil ditangani oleh empat departemen pemerintah yaitu Departemen Sosial,
Departemen Kehutanan, Departemen Transmigrasi dan Departemen Dalam Negeri.
Dengan obyek yang sama, kemungkinan over regulated akan terjadi karena
ketiadaan program yang terintegrasi lintas departemen. untuk menjadi sumber
anggaran negara melalui perantaraan perusahaan swasta. Dengan berbekal hak
pengusahaan hutan (HPH), swasta merasa memiliki hak yang sangat luas untuk
mengeksploitir sumber-sumber alam kehutanan.
Tanpa banyak menghiraukan
suara-suara dari kelompok kritis yang banyak dilakoni para aktifis lingkungan,
swasta dengan proteksi yang besar dari rezim telah berhasil menggunduli
hutan-hutan lebat di selurah pulau di Indonesia yang diberi predikat Hutan Produksi,
sambil melupakan aspek efek budaya yang ditimbulkannya pada eksistensi
masyarakat adat.
Berubahnya kawasan hutan menjadi gundul mendatangkan perubahan pada budaya
komunitas adat terpencil. Karena pada dasarnya, pola-pola budaya yang
berkembang pada komunitas adat tersebut terkait dengan pola-pola interaksi yang
berhubungan dengan alam, termasuk upaya kelestarian alam yang didiaminya.
Perubahan struktur hutan yang menjadi lingkungan tempat mengembangkan budaya,
dengan sendirinya mengubah pula tata dan produk budayanya. Perubahan budaya
dapat melahirkan kegelisahan dan keresahan pada segenap anggota komunitas adat
Pembangunan Sosial-Budaya.
Dalam menangani komunitas adat terpencil diperlukan pola kebijakan dan program
yang adaptif sesuai dengan kondisi sosial budayanya. Selama ini komunitas adat
terpencil ditangani oleh empat departemen pemerintah yaitu Departemen Sosial,
Departemen Kehutanan, Departemen Transmigrasi dan Departemen Dalam Negeri.
Dengan obyek yang sama, kemungkinan over regulated akan terjadi karena
ketiadaan program yang terintegrasi lintas departemen.
Contoh untuk program Non-Resattlement dapat ditemui pada komunitas adat Dayak,
utamanya komunitas Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Suku Dayak merupakan suku
asli yang mendiami pulau Kalimantan yang menyebar pada seluruh propinsi di
pulau terbesar di Indonesia tersebut Suku Dayak terdiri atas berbagai sub-sub
etnik. Tanpa melupakan aspek budayanya, pemerintah daerah setempat mampu
menciptakan dan menyuguhkan atraksi budaya di daerah Pampang, yang merupakan
lokasi asli komunitas Dayak.
Kawasan wisata budaya Pampang letaknya sekitar 60
kilometer dari Kota Samarinda. Sebenarnya kekayaan budaya Toraja yang sudah
terkenal diseluruh dunia merupakan pola Non-Resattlement. Sebagaimana
diketahui, suku Toraja yang mendiami wilayah pegunungan bagian utara propinsi
Sulawesi Selatan adalah dulunya masyarakat terasing yang hingga sekarang masih
melestarikan budaya megalitik dengan banyaknya ditemukan situs-situs menhir,
manik-manik dan tau-tau yang menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Tanah
Toraja.
Dari dua contoh program yang ditampilkan diatas tentang program resattlement
dan non-resattlement dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah
lainnya maupun departemen pemerintah yang consern membina komunitas adat
terpencil seperti Departemen Sosial. Contoh program diatas memiliki implikasi
kebijakan untuk memformulasi ulang kebijakan dalam penataan komunitas adat
terpencil agar tetap memiliki nilai jual disamping tidak melupakan aspek
pembangunan sosial dan budaya komunitas setempat.
Dalam rangka pembinaan dan pengembangan budaya komunitas adat terpencil, aspek
humanis dan sosial merupakan aspek utama yang menjadi perhatian penuh. Karena
bagaimanapun, eksistensi komunitas adat terpencil adalah bagian dari masyarakat
warga pada umumnya sehingga perlakuan terhadapnya tetap sama dalam membangun
dan mengembangkan budayanya.
Pembangunan sosial budaya sebagai bagian dari program pembangunan nasional
seyogyanya dilakukan secara incremental dan terintegasi. Jadi meskipun suatu
sasaran program pemerintah memiliki obyek yang sama pada berbagai departemen,
dalam tahap implementasinya harus tetap ferintegrasi agar ti4ak terpjpta ego
sektpra} ya.ng pada akhjrnya kan mempengjjpj Ju" has, jl program.