A.
LATAR
BELAKANG
Teori
konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang
memperhatikan fenomena konflik di dalam masyarakat. Asumsi dasar teori ini
ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau
fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bias menjalankan fungsinya
dengan baik. Namun demikian, teori ini mempunyai akar dalam karya Karl Marx di
dalam teori sosiologi klasik dan dikembangkan oleh beberapa pemikir sosial yang
berasal dari masa-masa kemudian.
Teori
konflik adalah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat
sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau
komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen
yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi
kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.
Pada
dasarnya pandangan teori konflik tentang masyarakat sebetulnya tidak banyak
berbeda dari pandangan teori funsionalisme structural karena keduanya sama-sama
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang tediri dari bagian-bagian.
Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi mereka yang berbeda-beda
tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu.
Menurut
teori fungsionalisme struktural, elemen-elemen itu fungsional sehingga
masyarakat secara keseluruhan bisa berjalan secara normal. Sedangkan teori
konflik, elemen-elemen itu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga
mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna memperoleh
kepentingan sebesar-besarnya.
B.
TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
. Memahami
lebih jauh mengenai teori konflik menurut Karl Marx.
. Menghubungkan
kebenaran teori konflik dengan fakta/realita di dalam masyarakat.
. Memberikan solusi guna meminimalisir konflik yang terjadi ditengah masyarakat.
. Memberikan solusi guna meminimalisir konflik yang terjadi ditengah masyarakat.
C.
ALASAN
Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada
pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh
berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa
pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan
segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima
kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap
dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon,
Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara
untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.
Apa yang menyebabkan terjadinya
konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan
ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran
golongan lain dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong
kepentingan, cara hidup atau identitas golongan lain dan bersifat horinsontal.
Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan kepada cerminan
realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi
yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.
Pertama, konflik yang didasarkan atas
identitas agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di
banyak daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir
zaman Soeharto dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah
Ambon.
Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan
ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi,
termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.
Kunci untuk memahami Marx adalah idenya
tentang konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen
masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu
bisa bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok , atau bangsa.
Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan
akan saya batasi hanya pada konflik yang terjadi di Ambon, dan akan dicoba
untuk melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya
konflik tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori
konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
RINGKASAN
TEORI/POKOK PIKIRAN
Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan
perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam
kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan
perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori
terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di
tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau
budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga
Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi
antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi
antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi
mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl
Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling kontroversial—yang
menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan
perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi
konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan
bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi
prestise/status dan kekuasaan politik.
Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat
pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan
bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan
kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak
seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat
dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya
kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh
budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.
Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang
Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain
adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan
ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda,
pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang
serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam
menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat
penting.
Marx
lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang
mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya
dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai
kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya
konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para
ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari
kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti
lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan
komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk.
B.
ANALISIS
MASALAH
Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon
antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap
relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh
tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen
yang merasa termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai
sejarah yang panjang yang bisa kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum
kapitalis modern pada jaman penjajahan Belanda.
Pengalaman masa demokrasi parlementer,
menunjukkan betapa sulitnya menciptakan koalisi antarkelas yang mampu berkuasa
dan sekaligus mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-an,
ekonomi Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang
mendorong pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua
perkonomian negara-negara Asia Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya
persaingan politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan pemerintah yang
seringkali tidak tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun
1965-1967.
Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat”
lebih baik—yang terindikasikan hanya melalui pertumbuhan
rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun setengah
abad—namun mengabaikan hak-hak sipil dan politik rakyat serta
maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat kental
dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social cost yang sangat mahal
berupa keterpurukan perekonomian Indonesia untuk yang kesekian kalinya dan
menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan di banyak tempat Indonesia,
sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat yang dilakukan penguasa
terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang berlebihan dari pemerintah
terhadap rakyat—dengan dalih untuk menciptakan stabilitas untuk mengamankan
proses dan hasil-hasil pembangunan—telah menyebabkan keharmonisan, kedamaian
dan persatuan diantara anak bangsa hanya terlihat di permukaan serta terlihat
maya dan semu.
Politik penjajahan Belanda dengan membuat
suatu segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas
bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas bangsa Timur
Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam
dalam benak warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut
warga Kristen hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak”
istimewa oleh penjajah Belanda.
Hukum alam berlaku, melalui suatu
penderitaan berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara
tidak langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai
pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar
Maluku telah menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.
Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang
dari bumi pertiwi dimulailah suatu babak baru hubungan warga Muslim dan
Kristen, kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen
telah memarjinalkan posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh
karena warga Muslim telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit
dimasa lalu dengan melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih
banyak—baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan.
Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen
terhadap warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah
orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach)
yang sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan
orang-orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang
berat, demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga
puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah
kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga
menghargai—setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari,
benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu saja—terlebih-lebih
dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intens—yang terjadi
justru adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan
meledak dengan sangat dahsyat.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah
sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang
murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah
kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah
ekonomi atau material semata
C.
KAITAN
DENGAN TEORI
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat
bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah
merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan
pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat
untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa.
Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan
upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling
bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan
hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia
juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan
dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis
hubungan antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah
empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis.
Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan
atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara
“kesadaran palsu” dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat,
bahwa orang-orang yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu
untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi.
Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan
pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin
terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya,
menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti
bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan
kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan
pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada
satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi
tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap golongan yang
lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah
orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang
timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak
Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri
mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya
berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner” berupa kerusuhan untuk
menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam.
Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka tidak perlu harus
menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi bahwa kondisi
materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang
dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi
kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang
sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak
setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang
ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah
pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang
saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang
besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk
kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan
struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan
ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam)
dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya
anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa
perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah
runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan
individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari
orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang
berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan
pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga
menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan
sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan
tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai
sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali
mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi
dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan
memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada
pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua
anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang ada.
Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran bagi
kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu,
hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep
atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada
sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas
Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau daerah) dengan
sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme
pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya
merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai
sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok Islam), agar
kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok
Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka
berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen
dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka
berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga
mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada
perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari
seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe
alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk yang
dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya
sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika
hanya menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri
sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan
kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx
bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas
pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang
mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas
kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks
kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu
melampaui tingkatan empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta
premis-premis filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan
manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara
Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang
mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak
dapat dibuktikan secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi
tentang data empiris yang saling bertentangan.
BAB III
P E N U T
U P
A.
KESIMPULAN
Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang
sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk memberikan sumbangan
bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik
yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang
ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.
Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial
yang terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang berlatar kesenjangan
ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan.
Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik
agama antara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya
adalah persaingan material, seperti yang telah saya utarakan fakta sejarahnya
dalam tulisan di muka.
Jika memang benar suatu konflik didasarkan
perbedaan agama, maka menurut pendapat R. William Liddle, kondisinya tidak
terlalu serius dan obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah
kesabaran, bukan suatu kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak
terlalu membesar-besarkan masalah pertentangan agama di Indonesia. Dalam
kenyataannya, penganut salah satu agama tidak akan mengancam kepentingan, cara
hidup atau identitas penganut agama lain. Lebih lanjut Liddle mengemukakan,
sebagai pengamat Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui
seorang Islam atau Kristen yang ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut
agama lain. Dalam konteks teori konflik Marx—seperti yang juga telah saya
kemukakan di atas, perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi
status dan kekuasaan politik —yang seringkali ditemukan adalah ketakutan dalam
dua versi, versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung
umat Kristen (misalnya pada saat L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua
adalah hal yang sebaliknya yaitu ketakutan orang Kristen pada tujuan
terselubung umat Islam (misalnya pada masa jayanya Masyumi atau ketika ICMI
mulai bangkit). Sehingga kesimpulannya adalah jika kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk berpoltik secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu
bebas, ketakutan mereka yang berlebihan akan layu dengan sendirinya.
Gejolak antar golongan yang berdasarkan
kesenjangan ekonomi, tampaknya lebih memprihatinkan dibandingkan konflik agama
oleh karena kebijakan ekonomi pemerintah, akan berdampak langsung pada tingkat
kemakmuran 210 juta rakyat Indonesia. Kemajuan atau kemunduran ekonomi akan
berdampak besar pada kestabilan rejim demokrasi yang baru mulai dibangun di
masa reformasi ini.
Kegagalan para pemimpin partai pada masa
demokrasi parlementer—yang tidak berhasil bertahan lama, apalagi melestarikan
demokrasi di Indonesia—sebabnya antara lain adalah mereka tidak tahu bagaimana
memanfaatkan alat-alat politik yang mereka miliki.
B.
S A R A N
Para politisi yang berkuasa pada masa kini
sekiranya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang apa yang harus mereka
lakukan, terutama pemerataan di bidang ekonomi—berupa kesejahteraan rakyat—dan
partisipasi politik rakyat, yang menurut Marx terbukti merupakan faktor yang
sangat penting dalam mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik.
Sebagian besar aktivis dan pemikir “kiri”
Indonesia, tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi serta berupaya
sekuat mungkin melawan kapitalisme, baik dengan cara-cara halus maupun
cara-cara kasar. Kapitalisme dicela sebagai sebuah struktur ekonomi yang
memungkinkan orang kuat (konglomerat) mengalahkan orang lemah (buruh serta
petani, pedagang dan pengusaha kecil) di dalam negeri. Langkah terpenting
sesungguhnya adalah menganggap lembaga-lembaga kapitalisme dan demokrasi
sebagai semacam floor (landasan) bukan ceiling (plafon). Ia
merupakan—kalau bukan sebagai syarat mutlak—kerangka yang paling berguna untuk
membangun sebuah rumah nasional yang modern pada jaman reformasi ini.
Pemerataan kemakmuran dimungkinkan oleh
pertumbuhan ekonomi, khususnya penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya
kemungkinan besar akan dijalankan oleh kapitalisme domestik dan internasional.
Hal itu tidak berarti bahwa pemerataan akan
datang dengan sendirinya, seperti hujan dan langit mendung. Ia harus
diperjuangkan, antara lain melalui perumusan dan penyebaran ide-ide baru,
penggalangan kekuatan politik untuk untuk memenangkan ide-ide tersebut di
tingkat legislatif dan eksekutif pemerintahan, dan pelaksanaan yang efisien dan
efektif oleh administrasi negara.
Akhirnya, agar para intelektual dan aktivis
politik indonesia yang mendambakan pemerataan kemakmuran dan demokrasi
substantif, harus siap berdiri di garis depan dalam perjuangan ini. Masa
reformasi telah membuka banyak kesempatan untuk mencari ide-ide baru dan
cara-cara baru untuk mewujudkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan,
Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985
2.
Seeman, Marvin, On the Meaning of Alienation,
dalam Johnson P.Doyle –terjemahan Robert M.Z.
3.
Lawang,Gramedia, Jakarta,
1986
4.
Liddle, R., William, Menjawab Tantangan Masa Reformasi,
Artikel Kompas, 8-9 Juni 2000
5.
Pendapat Thamrin Amal
Tomagola, pada saat perkuliahan pada Magister Pembangunan Sosial, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar