Sponsors

Selasa, 30 Oktober 2012

Teori Konflik Menurut Karl Marx



A.   LATAR BELAKANG

Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik di dalam masyarakat. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bias menjalankan fungsinya dengan baik. Namun demikian, teori ini mempunyai akar dalam karya Karl Marx di dalam teori sosiologi klasik dan dikembangkan oleh beberapa pemikir sosial yang berasal dari masa-masa kemudian.


Teori konflik adalah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.
Pada dasarnya pandangan teori konflik tentang masyarakat sebetulnya tidak banyak berbeda dari pandangan teori funsionalisme structural karena keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai satu sistem yang tediri dari bagian-bagian. Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi mereka yang berbeda-beda tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu.
Menurut teori fungsionalisme struktural, elemen-elemen itu fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa berjalan secara normal. Sedangkan teori konflik, elemen-elemen itu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.

B.   TUJUAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
         .    Memahami lebih jauh mengenai teori konflik menurut Karl Marx.
         .    Menghubungkan kebenaran teori konflik dengan fakta/realita di dalam masyarakat. 
         .    Memberikan solusi guna meminimalisir konflik yang terjadi ditengah masyarakat.

C.   ALASAN

Sejak pemerintahan Soeharto mulai goyah pada pertengahan tahun 1997-an, masyarakat Indonesia terus-menerus didera oleh berbagai konflik dan kerusuhan. Masyarakat Indonesia yang pernah berharap bahwa pemerintahan demokratis yang dipilih oleh Sidang Umum MPR tahun 1999, akan segera menciptakan stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, harus menerima kenyataan terjadinya kondisi yang lebih parah dengan melemahnya rupiah terhadap dolar. Ditambah lagi dengan maraknya kerusuhan yang terjadi (misalnya di Ambon, Sambas, Poso, Matraman dan Glodok) serta kenyataan kekurangmampuan alat negara untuk mencegah, mengeliminasi atau mengatasinya.
Apa yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik ini dan bagaimana menanggulanginya? Sebelum menjawab pertanyaan ini, maka akan dibedakan ke dalam dua tipe konflik dengan sasaran golongan lain dalam masyarakat, yang dianggap mengancam atau merongrong kepentingan, cara hidup atau identitas golongan lain dan bersifat horinsontal. Pengidentifikasian kedalam dua tipe konflik ini yang didasarkan kepada cerminan realitas sosial masyarakat Indonesia dewasa ini, diharapkan mempunyai implikasi yang besar untuk memecahkan konflik-konflik ini.
Pertama, konflik yang didasarkan atas identitas agama, khususnya Islam dan Kristen, contohnya bisa kita lihat di banyak daerah dari serentetan kerusuhan sosial yang dimulai di Jawa pada akhir zaman Soeharto dan berlanjut hingga saat ini, salah satu contohnya adalah Ambon.

Kedua, konflik yang didasarkan kesenjangan ekonomi, pihak yang berkonflik adalah kelas atau kelompok sosial ekonomi, termasuk kaum penganggur, buruh, petani, pedagang, pengusaha dan pejabat.
Kunci untuk memahami Marx adalah idenya tentang konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu bisa bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok , atau bangsa.
Dalam penyusunan makalah ini, permasalahan akan saya batasi hanya pada konflik yang terjadi di Ambon, dan akan dicoba untuk melakukan suatu analisis terhadap apa yang melatarbelakangi terjadinya konflik tersebut dan upaya atau solusi pemecahannya berdasarkan teori-teori konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx.


BAB  II
PEMBAHASAN

A.   RINGKASAN TEORI/POKOK PIKIRAN

Teori-teori konflik pada umumnya memusatkan perhatiannya terhadap pengenalan dan penganalisisan kehadiran konflik dalam kehidupan sosial, penyebabnya dan bentuknya, serta akibatnya dalam menimbulkan perubahan sosial. Dapat dikatakan bahwa, teori konflik merupakan teori terpenting pada saat kini, oleh karena penekanannya pada kenyataan sosial di tingkat struktur sosial dibandingkan di tingkat individual, antarpribadi atau budaya. Sehingga konflik yang terjadi antara seorang warga Muslim dan warga Kristen di Maluku, ditengarai bukanlah merupakan cerminan kebencian pribadi antara mereka, melainkan lebih sebagai cerminan ketidaksesuaian atau oposisi antara kepentingan-kepentingan mereka seperti yang ditentukan oleh posisi mereka dalam masing-masing kelompok agama mereka.
Diantara para perintis teori konflik, Karl Marx dipandang sebagai tokoh utama—dan yang paling kontroversial—yang menjelaskan sumber-sumber konflik serta pengaruhnya terhadap peningkatan perubahan sosial secara revolusioner. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.
Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya.

Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk.


B.   ANALISIS MASALAH

Konflik sosial ekonomi yang terjadi di Ambon antara warga Muslim—baik pribumi maupun pendatang, yang perkonomiannya dianggap relatif baik karena rata-rata berprofesi sebagai pedagang serta tiga puluh tahun terakhir lebih banyak berperan dalam pemerintahan—dan kelompok Kristen yang merasa termarjinalisasi oleh keadaan-keadan tersebut, sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang yang bisa kita runut dimulai dari awal perkembangan kaum kapitalis modern pada jaman penjajahan Belanda.
Pengalaman masa demokrasi parlementer, menunjukkan betapa sulitnya menciptakan koalisi antarkelas yang mampu berkuasa dan sekaligus mengelola ekonomi secara baik. Pada awal dasawarsa tahun 1950-an, ekonomi Indonesia tumbuh sesaat sebagai akibat sampingan perang Korea, yang mendorong pesatnya pertumbuhan permintaan suplai barang pada hampir semua perkonomian negara-negara Asia Tenggara saat itu. Tetapi setelah itu, maraknya persaingan politik yang tak kunjung selesai dan kebijakan pemerintah yang seringkali tidak tepat, berakhir dengan keruntuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1965-1967.
Kebijakan ekonomi orde baru yang “terlihat” lebih baik—yang terindikasikan hanya melalui pertumbuhan rata-rata diatas enam persen selama kurang lebih dalam kurun setengah abad—namun mengabaikan hak-hak sipil dan politik rakyat serta maraknya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat kental dan tidak terkontrol, telah menyebabkan social cost yang sangat mahal berupa keterpurukan perekonomian Indonesia untuk yang kesekian kalinya dan menyebabkan pula terjadinya kerusuhan-kerusuhan di banyak tempat Indonesia, sebagai dampak dari tindak represi yang sangat ketat yang dilakukan penguasa terhadap hak-hak rakyat. Tindakan represi yang berlebihan dari pemerintah terhadap rakyat—dengan dalih untuk menciptakan stabilitas untuk mengamankan proses dan hasil-hasil pembangunan—telah menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan persatuan diantara anak bangsa hanya terlihat di permukaan serta terlihat maya dan semu.
Politik penjajahan Belanda dengan membuat suatu segregasi terhadap penduduk Hindia Belanda kedalam empat golongan : kelas bangsa Eropa, kelas bangsa pribumi beragama Kristen, kelas kelas bangsa Timur Asing dan Pribumi non-Kristen, telah menyebabkan luka yang sangat mendalam dalam benak warga Muslim Indonesia khususnya di Ambon, sementara saat tersebut warga Kristen hidup dengan relatif lebih baik karena perlakukan yang “agak” istimewa oleh penjajah Belanda.
Hukum alam berlaku, melalui suatu penderitaan berkepanjangan yang diderita sebagaian warga Muslim ternyata secara tidak langsung menyebabkan warga muslim lebih mampu untuk bertahan hidup sebagai pedagang, ditambah dengan dorongan dari pedagang pendatang Muslim dari sekitar Maluku telah menyebabkan mereka semakin survive dari waktu ke waktu.
Dunia berputar, ketika penjajahan hengkang dari bumi pertiwi dimulailah suatu babak baru hubungan warga Muslim dan Kristen, kebijakan yang dijalankan rejim Soeharto dianggap oleh warga Kristen telah memarjinalkan posisi mereka—suatu anggapan yang menurut saya keliru, oleh karena warga Muslim telah memetik buah dari perjuangan mereka yang sangat sulit dimasa lalu dengan melahirkan pedagang dan para intelektual yang relatif lebih banyak—baik dalam ekonomi maupun posisi mereka dalam pemerintahan. Perbedaan-perbedaan ini telah menyulut kebencian diantara warga Kristen terhadap warga Islam yang teredam selama rejim orde baru berkuasa.
Perbedaan-perbedaan tersebut oleh pemerintah orde baru dieliminasi melalui pendekatan keamanan (security approach) yang sangat berlebihan, setiap kali terjadi ketegangan langsung diredam dan orang-orang yang dianggap penggerak terjadinya konflik dikenakan sanksi yang berat, demikianlah seterusnya keadaan ini terjadi selama kurang lebih tiga puluh tahun. Benih-benih permusuhan terpendam, yang tampak di permukaan adalah kehidupan antar penduduk yang harmonis, yang saling harga menghargai—setidak-tidaknya menurut penguasa pada waktu itu.
Penguasa pada waktu itu tidak menyadari, benih-benih dendam tersebut tidak akan terpupus begitu saja—terlebih-lebih dengan dilakukannya pendekatan keamanan yang sangat intens—yang terjadi justru adalah penumpukan dendam-dendam laten yang suatu ketika dipastikan meledak dengan sangat dahsyat.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas apakah sesungguhnya penyebab-penyebab konflik yang terjadi di Ambon, apakah memang murni perbedaan-perbedaan pandangan agama antara Islam dan Kristen ataukah kesan itu sebetulnya hanya merupakan akibat dari penyebab lain yaitu masalah ekonomi atau material semata

C.   KAITAN DENGAN TEORI
Dalam konflik Ambon, Marx akan melihat bentuk-bentuk konsensus pela gandong tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan upaya-upaya pihak yang dominan—dalam hal ini Islam—untuk memaksakan pembenaran atas dominasi mereka dan pela gandong dipergunakan sebagai alat untuk mengontrol keberadaan dominasi pihak-pihak yang “lebih” berkuasa. Selanjutnya, menurut teori Marx munculnya pela gandong merupakan upaya-upaya mengelabui terjadinya kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan mengangkat konsensus nilai dan norma pela gandong tersebut.
Marx mengakui pentingnya ideologi dan hubungan antara komitmen ideologi dan posisi dalam struktur kelas ekonomi, ia juga menjelaskan secara mendalam mengenai bentuk-bentuk kesadaran dengan dan dalam hubungannya dengan struktur ekonomi dan posisi kelas. Bagi non-Marxis hubungan antara kepercayaan individu dan nilai disatu pihak adalah masalah empiris, dan bukan suatu hal yang ditentukan atas suatu dasar filosofis. Sedangkan bagi Marx, validitas kepercayaan seseorang serta nilainya ditentukan atas suatu dasar filosofis. Hal ini tercermin dalam pembedaan Marx antara “kesadaran palsu” dan “kesadaran sesungguhnya”. Selanjutnya Marx berpendapat, bahwa orang-orang yang berada pada posisi marjinal seperti buruh, tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya melalui pekerjaannya atau mereka tidak mampu untuk mengutarakan suatu bentuk jenis pekerjaan apapun yang bersifat manusiawi. Oleh sebab itu, jika seorang pekerja terlihat sangat tekun dalam melaksanakan pekerjaannya, dan tidak mempunyai keinginan untuk memprotes, serta tidak ingin terlibat dalam suatu perjuangan revolusioner dalam memperbaiki nasibnya, menurut Marx hal ini jelas merupakan bukti kesadaran palsu. Ini berarti bahwa pekerja seperti itu terasing atau diasingkan dari dirinya dan kebutuhan-kebutuhan manusiawinya. Dalam konteks konflik Ambon, jika didasarkan pada teori konflik Marx , sangat jelas terjadinya kondisi kesadaran palsu pada satu kelompok, dan secara nyata terlihat bahwa potensi-potensi tindakan-tindakan pengklaiman golongan yang satu terhadap golongan yang lain, sangat diharamkan terjadi dan dihambat serta ditindas oleh pemerintah orde baru sedini mungkin, sehingga terjadi suatu kesadaran palsu yang timbul pada diri pihak-pihak yang termarjinalisasi (dalam hal ini pihak Kristen) untuk tidak menentang terjadinya proses-proses pengkerdilan atas diri mereka tersebut, keadaan ini menumpuk hingga selama 32 tahun, sehingga akhirnya berakhir melalui suatu “perjuangan revolusioner” berupa kerusuhan untuk menghancurkan pihak-pihak lain yang dianggap dominan yaitu pihak Islam. Sesungguhnya, kurangnya perjuangan revolusioner terbuka tidak perlu harus menunjukkan adanya kesadaran palsu, oleh karena bisa jadi bahwa kondisi materiil tidak cocok untuk kegiatan seperti itu. Demikian juga, orang-orang dari kelas subordinat pasti tidak bisa diharapkan untuk puas dengan posisi kelasnya jika mereka mengetahui apa kebutuhan dan kepentingan mereka yang sesungguhnya sebagai manusia.
Terlepas dari persoalan setuju atau tidak setuju terhadap teori Karl Marx, terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang ia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial. Dalam konflik Ambon keadaan ini jelas ada, yaitu pertentangan ekonomi antara kelas-kelas yang relatif secara ekonomi mampu (kelompok Islam) dan kelompok Kristen yang secara ekonomi dianggap marjinal—sekurang-kurangnya anggapan mereka sendiri. Dalam keseharian, akan jelas terlihat nyata bahwa perbedaan gaya hidup mereka yang mampu dan yang termarjinalisasi, akan menambah runcingnya perbedaan yang ada.
Saling ketergantungan antara tindakan individu dan kelompok yang bersifat harmonis, merupakan hasil dari orientasi-orientasi nilai yang dianut bersama oleh pihak-pihak yang berinteraksi, dan dari kenyataan bahwa penyesuaian diri dengan harapan-harapan pihak lain akan memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Teori konflik Marx juga menerima kenyataan terdapatnya saling ketergantungan itu dalam kehidupan sosial, namun secara umum Marx melihat bahwa adanya saling ketergantungan tersebut, sesungguhnya merupakan rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya agar kemauannya terhadap orang lain diikuti. Karena kendali mereka terhadap berbagai sumber daya itu, mereka yang berada pada suatu posisi dominan mampu memberikan jaminan bahwa tindakan orang lain dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa. Singkatnya, yang ada hanyalah faktor-faktor kepentingan dari mereka yang berada pada posisi dominan dan bukan nilai-nilai yang dianut bersama oleh semua anggota sistem tersebut, menjelaskan pola-pola saling ketergantungan yang ada. Lagi-lagi pela gandong yang merupakan konsep atau mekanisme penyadaran bagi kelompok-kelompok yang berbeda agama dalam masyarakat Maluku agar dapat bersatu, hidup berdampingan dengan damai. Maka bagi Marx, pela gandong merupakan konsep atau mekanisme penciptaan ketergantungan dari orang-orang yang berada pada sudut subordinat kepada kelas yang berkuasa. Pada segi ini, sangat jelas Marx-pun menuduh bahwa pihak penguasa (pemerintah pusat atau daerah) dengan sengaja menciptakan atau paling kurang memfasilitasi terbentuknya mekanisme pela gandong ini. Selanjutnya Marx menganggap bahwa pela gandong sesungguhnya merupakan suatu mekanisme rekayasa dari mereka yang menguasai sumber-sumber daya (dalam hal ini Pemerintah dan kelompok Islam), agar kemauannya terhadap kelompok lain diikuti dan tidak dibantah. Karena kelompok Islam dianggap memegang kendali terhadap berbagai sumber daya itu, maka berdasarkan pandangan Marx—yang serba pesimistik—ini, kelompok Kristen dipastikan memberikan kontribusinya dalam mempertahankan struktur dimana mereka berkuasa.
Analisis Marx mengenai alienasi juga mengungkapkan posisi filosofisnya. Pada dasarnya, konsep ini menunjuk pada perasaan dan keterasingan, khususnya yang timbul dari tidak adanya kontrol dari seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Marx menyatakan ada empat tipe alienasi : alienasi dari proses produksi, dari produk yang dihasilkan oleh kegiatan individu, dari manusia lainnya, dan dari dirinya sendiri. Menurut Marvin Seeman, alienasi dapat diukur secara empiris, jika hanya menunjuk pada perasaan keterasingan individu (subyektif) dari diri sendiri atau orang lain tersebut, dengan kata lain terjadi suatu keadaan kurangnya kontrol seseorang atas kondisi kehidupannya sendiri. Sedangkan Marx bergerak lebih jauh dari ini, ia menunjuk kondisi-kondisi obyektif dari kelas pekerja dan dari majikan kapitalis sebagai sesuatu yang sifatnya memang mengalienasi, tanpa menghubungkannya dengan reaksi subyektif mereka atas kondisinya. Meskipun argumentasinya ini meyakinkan, khususnya dalam konteks kehidupan pabrik pada abad ke sembilanbelas di Inggris, argumen-argumen itu melampaui tingkatan empiris yang mengungkapkan nilai-nilai Marx sendiri serta premis-premis filosofisnya yang berhubungan dengan kodrat manusia dan kebutuhan manusia yang mendasar. Juga sama seperti itu, pembedaan sekarang ini antara Marxis dan non-Marxis mencerminkan pembedaan dalam posisi filosofis yang mendasari serta asumsi-asumsi dasar yang tidak dapat dibuktikan atau tidak dapat dibuktikan secara empiris. Asumsi serupa itu mendasari interpretasi tentang data empiris yang saling bertentangan.

BAB  III
P E N U T U P

A.   KESIMPULAN

Sangat jelas bahwa dengan teori-teori yang sangat kontroversial dan pesimistik, Marx mencoba untuk memberikan sumbangan bagi penanganan konflik-konflik yang terjadi di seluruh dunia. Konflik-konflik yang ada menurut Marx bermuara pada ketimpangan terutama yang berlatarbelakang ekonomi, terdapatnya kelas-kelas yang dominan dan kelas yang tertindas.
Bedasarkan teori Marx, maka konflik sosial yang terjadi di Ambon sesungguhnya merupakan konflik yang berlatar kesenjangan ekonomi, antara kelas yang dianggap dominan dan kelas yang termarjinalkan. Namun melalui provokasi-provokasi tertentu konflik ini menyamar sebagai konflik agama antara kelompok Islam dan Kristen, padahal inti masalah sebenarnya adalah persaingan material, seperti yang telah saya utarakan fakta sejarahnya dalam tulisan di muka.
Jika memang benar suatu konflik didasarkan perbedaan agama, maka menurut pendapat R. William Liddle, kondisinya tidak terlalu serius dan obat yang paling mujarab untuk penyakit ini adalah kesabaran, bukan suatu kebijakan baru. Hal yang terpenting adalah untuk tidak terlalu membesar-besarkan masalah pertentangan agama di Indonesia. Dalam kenyataannya, penganut salah satu agama tidak akan mengancam kepentingan, cara hidup atau identitas penganut agama lain. Lebih lanjut Liddle mengemukakan, sebagai pengamat Indonesia, selama lebih dari 40 tahun, ia jarang menemui seorang Islam atau Kristen yang ingin memaksakan kehehendaknya pada penganut agama lain. Dalam konteks teori konflik Marx—seperti yang juga telah saya kemukakan di atas, perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi status dan kekuasaan politik —yang seringkali ditemukan adalah ketakutan dalam dua versi, versi pertama adalah ketakutan orang Islam pada tujuan terselubung umat Kristen (misalnya pada saat L.B. Murdani memimpin ABRI). Versi kedua adalah hal yang sebaliknya yaitu ketakutan orang Kristen pada tujuan terselubung umat Islam (misalnya pada masa jayanya Masyumi atau ketika ICMI mulai bangkit). Sehingga kesimpulannya adalah jika kedua belah pihak diberi kesempatan untuk berpoltik secara sehat, dalam alam demokratis dengan pemilu bebas, ketakutan mereka yang berlebihan akan layu dengan sendirinya.
Gejolak antar golongan yang berdasarkan kesenjangan ekonomi, tampaknya lebih memprihatinkan dibandingkan konflik agama oleh karena kebijakan ekonomi pemerintah, akan berdampak langsung pada tingkat kemakmuran 210 juta rakyat Indonesia. Kemajuan atau kemunduran ekonomi akan berdampak besar pada kestabilan rejim demokrasi yang baru mulai dibangun di masa reformasi ini.
Kegagalan para pemimpin partai pada masa demokrasi parlementer—yang tidak berhasil bertahan lama, apalagi melestarikan demokrasi di Indonesia—sebabnya antara lain adalah mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan alat-alat politik yang mereka miliki.


B.   S A R A N

Para politisi yang berkuasa pada masa kini sekiranya memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang apa yang harus mereka lakukan, terutama pemerataan di bidang ekonomi—berupa kesejahteraan rakyat—dan partisipasi politik rakyat, yang menurut Marx terbukti merupakan faktor yang sangat penting dalam mengeliminasi kemungkinan terjadinya konflik.
Sebagian besar aktivis dan pemikir “kiri” Indonesia, tampaknya bersikap acuh tak acuh terhadap demokrasi serta berupaya sekuat mungkin melawan kapitalisme, baik dengan cara-cara halus maupun cara-cara kasar. Kapitalisme dicela sebagai sebuah struktur ekonomi yang memungkinkan orang kuat (konglomerat) mengalahkan orang lemah (buruh serta petani, pedagang dan pengusaha kecil) di dalam negeri. Langkah terpenting sesungguhnya adalah menganggap lembaga-lembaga kapitalisme dan demokrasi sebagai semacam floor (landasan) bukan ceiling (plafon). Ia merupakan—kalau bukan sebagai syarat mutlak—kerangka yang paling berguna untuk membangun sebuah rumah nasional yang modern pada jaman reformasi ini.

Pemerataan kemakmuran dimungkinkan oleh pertumbuhan ekonomi, khususnya penciptaan lapangan kerja, yang pada gilirannya kemungkinan besar akan dijalankan oleh kapitalisme domestik dan internasional.
Hal itu tidak berarti bahwa pemerataan akan datang dengan sendirinya, seperti hujan dan langit mendung. Ia harus diperjuangkan, antara lain melalui perumusan dan penyebaran ide-ide baru, penggalangan kekuatan politik untuk untuk memenangkan ide-ide tersebut di tingkat legislatif dan eksekutif pemerintahan, dan pelaksanaan yang efisien dan efektif oleh administrasi negara.
Akhirnya, agar para intelektual dan aktivis politik indonesia yang mendambakan pemerataan kemakmuran dan demokrasi substantif, harus siap berdiri di garis depan dalam perjuangan ini. Masa reformasi telah membuka banyak kesempatan untuk mencari ide-ide baru dan cara-cara baru untuk mewujudkannya.


DAFTAR  PUSTAKA


1.      Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Antar Golongan, Sumur Bandung, Cetakan ke-8, 1985
2.      Seeman, Marvin, On the Meaning of Alienation, dalam Johnson P.Doyle –terjemahan Robert M.Z.
3.      Lawang,Gramedia, Jakarta, 1986
4.      Liddle, R., William, Menjawab Tantangan Masa Reformasi, Artikel Kompas, 8-9 Juni 2000
5.      Pendapat Thamrin Amal Tomagola, pada saat perkuliahan pada Magister Pembangunan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar