Sponsors

Rabu, 12 Desember 2012

Revitalisasi Budaya KAT dalam Perspektif Pembanguman Budaya Bangsa

Komunitas adat merupakan sebuah realitas sosial yang terkait dengan proses asal-usul dan munculnya suatu komunitas bangsa. Komunitas ini berasal dari sejumlah individu yang berdiam di suatu tempat tertentu dengan sistem nilai (value system) tertentu pula yang mengatur pola-pola interaksi antar individu anggota komunitas, sedang interaksi dengan individu diluar komunitas cenderung tidak diatur dalam sistem nilai yang dianut.'

Eksistensi komunitas adat, termasuk komunitas adat terpencil selama ini cenderung dianggap sebagai bagian pelengkap dari masyarakat pada umumnya. Fungsinya lebih cenderung dijadikan sebagai kawasan khusus yang diperuntukkan bagi keperluan wisata dan untuk penelitian-penelitian sosioantropologis. Keunikan dan keeksotisan adat istiadatnya hanya dieksploitasi untuk semata tujuan-tujuan ekonomis seraya melupakan pemenuhan hak-haknya sebagai komunitas yang harus dilindungi dari pengaruh budaya dari luar (mainstream culture).

Sebagai sebuah komunitas, orang-orang yang menjadi anggota komunitas tersebut secara individu memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara lainnya. Hak untuk hidup, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk hidup sejahtera hal untuk bebas dari rasa takut dan hak untuk mengembangkan budayanya adalah beberapa hak-hak yang bersifat azasi yang mutlak diberikan kepadanya. Keberadaannya yang terisolasi dengan masyarakat pada umumnya bukanlah halangan untuk adanya persamaan hak dan kewajiban. 

Eksistensi Komunitas Adat
Komunitas adat terpencil telah melahirkan banyak istilah untuk menyebut obyek yang sama. Departemen Sosial, sebuah lembaga pemerintah yang mengurus sektor ini memberinya istilah masyarakat terasing. Defenisi masyarakat terasing menurut Departemen Sosial adalah masyarakat yang terisolasi dan memiliki kemampuan terbatas , beberapa hak-hak yang bersifat azasi yang mutlak diberikan kepadanya. Keberadaannya yang terisolasi dengan masyarakat pada umumnya bukanlah halangan untuk adanya persamaan hak dan kewajiban.

Eksistensi Komunitas Adat
Komunitas adat terpencil telah melahirkan banyak istilah untuk menyebut obyek yang sama. Departemen Sosial, sebuah lembaga pemerintah yang mengurus sektor ini memberinya istilah masyarakat terasing. Defenisi masyarakat terasing menurut Departemen Sosial adalah masyarakat yang terisolasi dan memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan masyarakat lain yang lebih maju, karena keadaannya terbelakang serta tertinggal dalam mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial budaya dan lain-lain.

Ciri utama komunitas adat terpencil adalah sedentary dan local minded. Mobilitas dan migrasi tidak dikenal dalam kamus kehidupan komunitas. Kalaupun terjadi migrasi, pola migrasinya sebatas pada areal tertentu yang mirip dengan tempat tinggalnya dan sebatas orientasi ekonomi subsisten untuk mendapatkan sumber bahan makanan yang didapatkannya dengan jalan berburu dan bercocok tanam. Orientasinya berfokus sebatas pada komunitasnya, lingkungan tempat tinggalnya dan adat istiadatnya.

Dalam konteks kependudukan, eksistensi komunitas adat secara kuantitatif memang tidak memiliki junilah yang signifikan, karena itu mereka mengelompok pada wilayah tertentu yang menjadi menjadi areal pelaksanaan dan pengembangan budayanya. Hasil dari perilaku dan interaksi budaya melahirkan subkultur dari masyarakat pada umumnya; dan dilihat dari segi kebiasaan umum itulah kebiasaan-kebiasaan komunitas adat dapat menjadi basis dari pengembangan budayanya.

Komunitas adat yang banyak dikaji dan dijumpai hampir merata pada kelima pulau besar di Indonesia. Beberapa komunitas adat yang sempat disebut disini antara lain : suku Badui di pulau Jawa, suku Anak Dalam di pulau Sumatera, di pulau Kalimantan ada suku Dayak, suku Asmat di pulau Irian dan di Sulawesi ada komunitas Kajang.

Bila dijabarkan lebih jauh, komunitas adat terpencil dipulau Sumatera diantaranya suku Sakai di Riau, komunitas Mentawai dan Enggano di Sumatera Barat. Di Pulau Sulawesi ada To Pembuni dan To Seko di Sulawesi Selatan, Tojio di Selawesi Tengah, To Landale di Sulawesi Tenggara dan Manobo di Pulau Buton. Sedang di pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat ada komunitas Donggo di Sumbawa Timur. Terakhir adalah di Pulau Irian Jaya (Papua) seperti komunitas Arfak, Arso, Bahaan, Bauzi, Mek, Dani, Amungme dan Asmat.

Di Pulau Irian Jaya relatif propinsi yang memiliki paling banyak komunitas adat terpencil dan belum tersentuh oleh peradaban luar yang modern. Komunitas tersebut banyak berdiam di sekitar daerah sungai Wriendshap dan Eilanden yang masih tertutup hutan lebat dan didaerah lereng gunung bagian selatan Pegunungan Jayawijaya. 

Setiap komunitas masing-masing beranggotakan sekitar 50-100 orang dan menyebar diberbagai perkampungan. Keterpencilan komunitas adat dari dunia luar disebabkan oleh faktor geografi dan topografi yang khas. 

Pada abad 15 orang-orang Islam dari Kerajaan Ternate, Tidore dan Jailolo di Pulau Halmahera sudah mempengaruhi kehidupan penduduk komunitas adat di bagian kepala burung Pulau Irian, tetapi pengaruhnya tidak terlalu mendalam dan tidak meluas sehingga tidak memiliki dampak yang berarti.

 Demikian halnya pada abad 17 dan abad 18 saat kedatangan bangsa Portugis dan Belanda yang menyebarkan agama Kristen Protestan dan Katolik juga tidak mengalami perubahan dan kemajuan. Bahkan pengaruh kedua agama terakhir yang banyak dianut penduduk Irian hingga kini tidak banyak membantu proses modernisasi kehidupan komunitas terpencil. Keberadaan komunitas-komunitas tersebut seharusnya senantiasa dilestankan namun seringkali dalam penanganannya menimbulkan riak-riak yang menjurus ke aroma politis, khususnya yang berhubungan dengan isu penataan lingkungan dan pembangunan. 
 
Isu ekologi merupakan isu yang banyak melekat pada komunitas adat, khususnya adat terpencil. Keterkaitan isu ekologi banyak dijumpai pada komunitas adat di pulau Sumatera dan Kalimantan. Istilah hak ulayat adalah istilah yang populer dijumpai dalam wacana perjumpaan komunitas adat dengan isu ekologi. 

Secara populer, hak ulayat ini mengacu pada hak bawaan pada komunitas yang mendiami kawasan tertentu secara turun temurun. Karena berbentuk hak, maka bila diabaikan akan melahirkan tuntutan-tuntutan baru dan anggota komunitas adat. Gerakan penuntutan hak pasti akan melahirkan gerakan beraroma politik karena berkaitan dengan proses dan idiologi pembangunan yang dikembangkan rezim. 
 
Eratnya keterkaitan isu ekologi dengan komunitas adat menyebabkan energi pembangunan budaya komunitas adat menjadi terabaikan. Dengan disokong oleh idiologi kapitalisme, rezim yang berkuasa mengeksplorasi berbagai kawasan hutan untuk menjadi sumber anggaran negara melalui perantaraan perusahaan swasta. Dengan berbekal hak pengusahaan hutan (HPH), swasta merasa memiliki hak yang sangat luas untuk mengeksploitir sumber-sumber alam kehutanan. Tanpa banyak menghiraukan suara-suara dari kelompok kritis yang banyak dilakoni para aktifis lingkungan, swasta dengan proteksi yang besar dari rezim telah berhasil menggunduli hutan-hutan lebat di selurah pulau di Indonesia yang diberi predikat Hutan Produksi, sambil melupakan aspek efek budaya yang ditimbulkannya pada eksistensi masyarakat adat.

Berubahnya kawasan hutan menjadi gundul mendatangkan perubahan pada budaya komunitas adat terpencil. Karena pada dasarnya, pola-pola budaya yang berkembang pada komunitas adat tersebut terkait dengan pola-pola interaksi yang berhubungan dengan alam, termasuk upaya kelestarian alam yang didiaminya. Perubahan struktur hutan yang menjadi lingkungan tempat mengembangkan budaya, dengan sendirinya mengubah pula tata dan produk budayanya. Perubahan budaya dapat melahirkan kegelisahan dan keresahan pada segenap anggota komunitas adat Pembangunan Sosial-Budaya.

Dalam menangani komunitas adat terpencil diperlukan pola kebijakan dan program yang adaptif sesuai dengan kondisi sosial budayanya. Selama ini komunitas adat terpencil ditangani oleh empat departemen pemerintah yaitu Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Departemen Transmigrasi dan Departemen Dalam Negeri. 

Dengan obyek yang sama, kemungkinan over regulated akan terjadi karena ketiadaan program yang terintegrasi lintas departemen. untuk menjadi sumber anggaran negara melalui perantaraan perusahaan swasta. Dengan berbekal hak pengusahaan hutan (HPH), swasta merasa memiliki hak yang sangat luas untuk mengeksploitir sumber-sumber alam kehutanan. 

Tanpa banyak menghiraukan suara-suara dari kelompok kritis yang banyak dilakoni para aktifis lingkungan, swasta dengan proteksi yang besar dari rezim telah berhasil menggunduli hutan-hutan lebat di selurah pulau di Indonesia yang diberi predikat Hutan Produksi, sambil melupakan aspek efek budaya yang ditimbulkannya pada eksistensi masyarakat adat. 

Berubahnya kawasan hutan menjadi gundul mendatangkan perubahan pada budaya komunitas adat terpencil. Karena pada dasarnya, pola-pola budaya yang berkembang pada komunitas adat tersebut terkait dengan pola-pola interaksi yang berhubungan dengan alam, termasuk upaya kelestarian alam yang didiaminya. 

Perubahan struktur hutan yang menjadi lingkungan tempat mengembangkan budaya, dengan sendirinya mengubah pula tata dan produk budayanya. Perubahan budaya dapat melahirkan kegelisahan dan keresahan pada segenap anggota komunitas adat Pembangunan Sosial-Budaya.

Dalam menangani komunitas adat terpencil diperlukan pola kebijakan dan program yang adaptif sesuai dengan kondisi sosial budayanya. Selama ini komunitas adat terpencil ditangani oleh empat departemen pemerintah yaitu Departemen Sosial, Departemen Kehutanan, Departemen Transmigrasi dan Departemen Dalam Negeri. Dengan obyek yang sama, kemungkinan over regulated akan terjadi karena ketiadaan program yang terintegrasi lintas departemen.

Contoh untuk program Non-Resattlement dapat ditemui pada komunitas adat Dayak, utamanya komunitas Dayak Kenyah di Kalimantan Timur. Suku Dayak merupakan suku asli yang mendiami pulau Kalimantan yang menyebar pada seluruh propinsi di pulau terbesar di Indonesia tersebut Suku Dayak terdiri atas berbagai sub-sub etnik. Tanpa melupakan aspek budayanya, pemerintah daerah setempat mampu menciptakan dan menyuguhkan atraksi budaya di daerah Pampang, yang merupakan lokasi asli komunitas Dayak. 

Kawasan wisata budaya Pampang letaknya sekitar 60 kilometer dari Kota Samarinda. Sebenarnya kekayaan budaya Toraja yang sudah terkenal diseluruh dunia merupakan pola Non-Resattlement. Sebagaimana diketahui, suku Toraja yang mendiami wilayah pegunungan bagian utara propinsi Sulawesi Selatan adalah dulunya masyarakat terasing yang hingga sekarang masih melestarikan budaya megalitik dengan banyaknya ditemukan situs-situs menhir, manik-manik dan tau-tau yang menyebar di seluruh wilayah Kabupaten Tanah Toraja. 

Dari dua contoh program yang ditampilkan diatas tentang program resattlement dan non-resattlement dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah lainnya maupun departemen pemerintah yang consern membina komunitas adat terpencil seperti Departemen Sosial. Contoh program diatas memiliki implikasi kebijakan untuk memformulasi ulang kebijakan dalam penataan komunitas adat terpencil agar tetap memiliki nilai jual disamping tidak melupakan aspek pembangunan sosial dan budaya komunitas setempat.

Dalam rangka pembinaan dan pengembangan budaya komunitas adat terpencil, aspek humanis dan sosial merupakan aspek utama yang menjadi perhatian penuh. Karena bagaimanapun, eksistensi komunitas adat terpencil adalah bagian dari masyarakat warga pada umumnya sehingga perlakuan terhadapnya tetap sama dalam membangun dan mengembangkan budayanya.
Pembangunan sosial budaya sebagai bagian dari program pembangunan nasional seyogyanya dilakukan secara incremental dan terintegasi. Jadi meskipun suatu sasaran program pemerintah memiliki obyek yang sama pada berbagai departemen, dalam tahap implementasinya harus tetap ferintegrasi agar ti4ak terpjpta ego sektpra} ya.ng pada akhjrnya kan mempengjjpj Ju" has, jl program.

0 komentar:

Posting Komentar